Penulis : Farhan Surya Adiputra
Jakarta, 2025 — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah
satu janji kampanye Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran
Rakabuming resmi dijalankan sejak awal tahun ini. Program ini dirancang
untuk memberikan akses makanan bergizi kepada jutaan anak sekolah dasar
dan menengah di seluruh Indonesia. Tujuannya adalah meningkatkan
kualitas gizi generasi muda, mencegah stunting, serta mencetak sumber
daya manusia yang lebih sehat dan produktif di masa depan.
Sejak
peluncurannya, respons publik sangat beragam. Di banyak daerah, sekolah
dan orang tua murid menyambut baik kehadiran program ini. Mereka mengaku
sangat terbantu karena anak-anak mereka kini mendapatkan asupan makanan
yang lebih lengkap dengan kandungan gizi seimbang, mulai dari
karbohidrat, protein, hingga sayur dan buah. “Sebelumnya, anak-anak
sering berangkat sekolah tanpa sarapan atau hanya dengan jajanan
sederhana. Sekarang mereka bisa makan lebih sehat,” kata Siti, seorang
guru SD di Jakarta Timur.
Namun, di sisi lain, muncul perdebatan
mengenai keberlanjutan dan implikasi fiskal dari program tersebut. Pakar
ekonomi menilai bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan makan
bergizi gratis dalam skala nasional sangatlah besar. Beberapa kalangan
khawatir jika alokasi dana ini akan menambah beban pada APBN, terutama
jika tidak dibarengi dengan strategi pengelolaan anggaran yang efisien.
“Kalau tidak diatur dengan baik, program ini berisiko menambah defisit
fiskal dan mengorbankan anggaran sektor lain seperti infrastruktur atau
kesehatan,” ujar Dr. Raka, ekonom dari Universitas Indonesia.
Artikel
ilmiah terbaru dalam NAAFI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa (2025) menegaskan
bahwa keberlanjutan program ini sangat tergantung pada tiga aspek
penting: manajemen anggaran, efisiensi distribusi, dan pengawasan
kualitas makanan. Manajemen anggaran diperlukan untuk memastikan bahwa
dana yang besar benar-benar dialokasikan tepat sasaran. Efisiensi
distribusi memastikan makanan sampai ke sekolah-sekolah di daerah
terpencil tanpa hambatan logistik. Sementara itu, pengawasan kualitas
makanan menjadi faktor vital agar makanan yang diberikan tidak hanya
layak konsumsi, tetapi juga benar-benar bergizi sesuai standar
kesehatan.

Tidak ada komentar: